Ada sebuah tawa yang berdansa diam-diam di ujung luka, mencecap getir di bibir nestapa.
Adalah beberapa perjanjian lama, yang melambai bagai bunga, tapi akarnya menusuk dada.
Dan, waktu tersenyum serong di pelipis, menyusun detik menjadi manis yang lebih tipis.
Padahal harap sudah menangis, diperas pahit tanpa kompromis.
Kata-kata bagai mawar megah, dengan durinya yang menjerat marah.
Aku sudah mengenakan rompi anti peluru, tapi pisaumu tak kasat mata.
Kupeluk kecewa dengan tangan terbakar, dan kupelajari dusta yang lihai menjadi mekar.
Biarlah luka ini jadi musisi liar,
Menulis pedih tanpa harus gentar.
Karena bukan sakit yang kusesali, tapi kesempatan yang kau permainkan dengan rapi.
Dan kini biarkan hatiku bernyanyi, menyuarakan pelik yang tak sekalipun kau perdulikan.